small but nice, simple but memorable

Selasa, 30 April 2013

dialog senja hari


suatu hari kami membicarakan mengenai titik.


X : "kita tuh yah, engga pernah jahat-jahat banget sama makhluk yang bernama laki-laki, tetapi kenapa mereka selalu menjadikan kita bonekanya, dan bodohnya kita suka, suka untuk dipermainkan, suka untuk ditipu daya. sudah berulang kali aku membuat titik untuk sebuah hubungan yang tidak tau apa namanya ini. kami tahu kami menjalin hubungan, hanya saja tidak ada suatu kepastian yang menjelaskan apa hubungan yang kami jalin ini. bayangkan saja, disaat aku lelah dan ingin menitiki ini semua, lelaki berengsek itu selalu mencoret titik yang ku buat hingga berubahlah menjadi koma, selalu seperti itu, dan terjadi berulang kali. bagaimana aku bisa lepas dari belenggu ini?" 

Y : "aku pikir bukan salah dari sang lelaki, wanita memang terkadang bodoh. mereka menampik semua pria yang telah santun kepadanya, dan lebih memilik dengan pria yang senang mempermainkannya. aku pikir sikap beda dari pria tersebut yang membaut kita menjadi lebih penasaran dan ingin menelisik lebih dalam hingga kebagian paling dalam dari si pria. kita dan pria yang cenderung kita pilih yang memiliki predikat player itu punya sisi dan berasal dari lingkungan yang berbeda, tidak menutup kemungkinan kan kalau kita sama-sama penasaran dengan lingkungan dan sisi yang masing-masing dari kita miliki? kalau semua rasa penasaran kita belum terpenuhi bagaimana kita bisa menyatakan dengan tegas bila kita ingin membuat titik?"

Z : "memang perempuan terkadang tidak tegas dengan segala keputusan yang telah ia buat, sudah menjadi kodrat lelaki player untuk mengtidak-konsistenkan apa yang kadang sudah kita pikirkan matang-matang, bahkan sampai tidak bisa tidur berhari-hari. dan ketidak-konsistenan perempuan itu ada karena belum adanya laki-laki selain player itu yang membuat dirinya nyaman. kenyamanan muncul tanpa pandang status lelaki itu player atau tidak kan? mereka player, tetapi mereka selalu ada saat kita butuhkan. lalu kalau begini perkara dia player atau bukan sudah tidak dipikirkan lagi."

Y : "baiklah mari sama-sama tegas, tegas dengan perasaan masing-masing."

X : "aku ingin membuat titik, aku lelah dengan semua yang ada, semua yang aku rasa. apalagi setelah aku tahu ia tidak benar-benar suka padaku, aku sudah di ultimatum. harusnya aku sudah sadar dan menitik sejak dulu."

Z : "sudahlah jangan kau umbar kepada kami sikap kau yang selalu ingin menitik. kamu pun selalu begitu. titik yang kamu buat masih titik-titik belum menjadi titik."

Y : "sebenarnya lisan hanya bisa beraksara, selebihnya hati yang lebih berkuasa. ingat ya kita perempuan. terkadang lisan kita dikendalikan oleh otak yang gengsi, bukan hati yang jujur. coba biarkan saja hatimu bekerja, ia tau kapan harus menitik."

tidak ada yang bisa mengisi titik-titik yang menjadi sebuah kekosongan pada suatu kalimat jika belum menemukan kata yang benar-benar layak untuk menyempurnakan kalimat. disaat satu kata telah apik membuat kaliamat itu sempurna, bukan berarti kalimat itu dapat terangkai menjadi suatu paragraf utuh, bahkan cerita.

cerita kita belum berakhir, aku memberi titik, lalu kamu menmbahnya satu titik, lalu apa yang harus kita isi untuk dapat melengkapi titik-titik ini?
apakah tidak semua cerita berakhir dengan titik?


0 comments:

Posting Komentar

© vanilla essens, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena