small but nice, simple but memorable

Sabtu, 23 Juli 2011

buka hati

mencoba memejamkan kenangan di sisi lama itu
menoleh sejenak pada tikar harap di depan itu
mengharu langkah pada pijakan yang tak sampai utuh
decak kaki berhenti pada satu pintu
melamun di kekosongan rindu
menetes air di sudut kehampaan itu
meminta-minta temarau ini segera berlalu
adakah lara yang dapat indah berlari ?
mencuci diri yang penuh namamu
membuka hati yang telah lupa terkunci
Read More

dalam semu

aku sebut ini kegamangan karena aku dibuatnya terombang-ambing dalam kegelisahan. lalu dengan sendirinya pikiranku tertarik dalam dunia yang aku tau tak nyata.
kenapa aku menikmatinya ? apa karena kenyataan selalu memberiku kekecewaan ?
dan aku berharap disini. sebuah harapan akan hadirnya mata air yang akan menetes di alam sadarku hingga aku terbangun dari kesemuan ini. kesemuan yang menawarkan berjuta-juta impian yang membuat aku terbang hanya beberapa menit lalu aku jatuh lagi hanya dengan sepersekian detik.
aku sampai tak sadar bila terluka.
Read More

Balada Penjual Cilok

Harapan itu diciptakan untuk semua orang, Tuhan telah memberi ruang pada hati dimana harapan itu akan singgah. Harapan bebas berkeliaran pada diri manusia. Pada mausia yang mempunyai semangat untuk memunculkan harapan menjadi kenyataan.
Malam ini aku makan cilok, seperti kebiasaan sebelumnya aku memang suka membeli cilok. Ada pedagang cilok keliling yang suka lewat depan rumah dengan gerobaknya. Dan selagi aku ingin makan makanan konvesional itu aku selalu memberhentikannya di depan rumah. Tidak sedikit juga tetangga-tetangga sebelah rumah dan penghuni kontrakan juga ikutan membeli. Rasa ciloknya enak, ladanya sangat terasa dilidah jadi bisa sebagai penghangat tubuh kalau dimakan malam-malam.
Aku ingin cerita mengenai pedagangnya. Ia adalah seorang laki-laki yang usianya mungkin dua atau tiga tahun dibawahku. Perawakannya kurus kemudian selalu menggunakan topi kalau sedang berjualan. Suatu hari aku ingin berangkat kekampus, dan aku kaget ketika menyadari bahwa aku berpapasan dengan pedagang cilok itu didepan sebuah warung. Aku baru tau kalau ternyata pedagang itu masih bersekolah. Dari pakaiannya aku tau kalau dia masih SMA tapi entahlah kelas berapa ia.
Kemudian setelah aku pulang kuliah, aku berpapasan lagi dengan pedagang cilok itu. Dan masih di lokasi yang sama, depan warung. Aku lihat disana ia bersama seorang sebaruh baya yang aku duga kalau itu ayahnya. Mereka sama-sama mendorong gerobak cilok lalu bersalaman. Hatiku tersentuh melihat pemandangan tersebut. Melihat mereka seperti mendapat sesuatu untuk membangkitkan semangat hidup. Kemudian setelah mereka bersaliman, bersama-sama berjalan mendorong gerobak cilok dan berpisah di persimpangan jalan. Sang ayah kekanan dan anaknya kekiri.
Aku tidak bisa membayangkan, mengapa masih ada saja remaja seumurannya tidak malu untuk berjualan. Senang mendorong- dorong gerobak yang ada tulisan cilok didepannya. Membiarkan kakinya pegal karena harus berjalan keliling kampung setiap harinya. Di lain sisi, remaja lain hanya asik merengek-rengek meminta uang papa mamanya. Duduk manis dirumah menonton acara keasayangannya atau bahkan asik dengan jejaring sosialnya. Aku jadi berkaca pada diri sendiri. Tentang kehidupan yang terlalu sombong yang selama ini aku jalani.
Kenyataan yang aku lihat dengan jiwa dan ragaku sendiri membuat aku malu. Malu pada sikap yang dimiliki remaja yang umurnya bahkan jauh dibawahku. Ia dapat menghidupkan harapan untuk bisa sekolah dengan berjualan, sementara aku hanya duduk manis tanpa keringat.
Read More

Jumat, 01 Juli 2011

kilau

capture by nomaridha

menerka-nerka dalam ragu

adakah sekelibat bayangan
yang aku sudah hafal lekuknya

warna pelangi mencoret keindahannya
seakan tak ingin kalah bersaing
goresanmu indah, aku terkesima

pinjami aku sekotak kilaumu
supaya tertular aura klasik ragamu
Read More

© vanilla essens, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena