small but nice, simple but memorable

Sabtu, 23 Juli 2011

Balada Penjual Cilok

Harapan itu diciptakan untuk semua orang, Tuhan telah memberi ruang pada hati dimana harapan itu akan singgah. Harapan bebas berkeliaran pada diri manusia. Pada mausia yang mempunyai semangat untuk memunculkan harapan menjadi kenyataan.
Malam ini aku makan cilok, seperti kebiasaan sebelumnya aku memang suka membeli cilok. Ada pedagang cilok keliling yang suka lewat depan rumah dengan gerobaknya. Dan selagi aku ingin makan makanan konvesional itu aku selalu memberhentikannya di depan rumah. Tidak sedikit juga tetangga-tetangga sebelah rumah dan penghuni kontrakan juga ikutan membeli. Rasa ciloknya enak, ladanya sangat terasa dilidah jadi bisa sebagai penghangat tubuh kalau dimakan malam-malam.
Aku ingin cerita mengenai pedagangnya. Ia adalah seorang laki-laki yang usianya mungkin dua atau tiga tahun dibawahku. Perawakannya kurus kemudian selalu menggunakan topi kalau sedang berjualan. Suatu hari aku ingin berangkat kekampus, dan aku kaget ketika menyadari bahwa aku berpapasan dengan pedagang cilok itu didepan sebuah warung. Aku baru tau kalau ternyata pedagang itu masih bersekolah. Dari pakaiannya aku tau kalau dia masih SMA tapi entahlah kelas berapa ia.
Kemudian setelah aku pulang kuliah, aku berpapasan lagi dengan pedagang cilok itu. Dan masih di lokasi yang sama, depan warung. Aku lihat disana ia bersama seorang sebaruh baya yang aku duga kalau itu ayahnya. Mereka sama-sama mendorong gerobak cilok lalu bersalaman. Hatiku tersentuh melihat pemandangan tersebut. Melihat mereka seperti mendapat sesuatu untuk membangkitkan semangat hidup. Kemudian setelah mereka bersaliman, bersama-sama berjalan mendorong gerobak cilok dan berpisah di persimpangan jalan. Sang ayah kekanan dan anaknya kekiri.
Aku tidak bisa membayangkan, mengapa masih ada saja remaja seumurannya tidak malu untuk berjualan. Senang mendorong- dorong gerobak yang ada tulisan cilok didepannya. Membiarkan kakinya pegal karena harus berjalan keliling kampung setiap harinya. Di lain sisi, remaja lain hanya asik merengek-rengek meminta uang papa mamanya. Duduk manis dirumah menonton acara keasayangannya atau bahkan asik dengan jejaring sosialnya. Aku jadi berkaca pada diri sendiri. Tentang kehidupan yang terlalu sombong yang selama ini aku jalani.
Kenyataan yang aku lihat dengan jiwa dan ragaku sendiri membuat aku malu. Malu pada sikap yang dimiliki remaja yang umurnya bahkan jauh dibawahku. Ia dapat menghidupkan harapan untuk bisa sekolah dengan berjualan, sementara aku hanya duduk manis tanpa keringat.

0 comments:

Posting Komentar

© vanilla essens, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena