small but nice, simple but memorable

Rabu, 31 Juli 2013

Kupu-kupu di perut


Aku sedang tidak sedang jatuh cinta tapi kenapa aku merasakan ada kupu-kupu yang mengeliat geliat di perutku?
Aku robek kulit luarnya. Mungkin aku bisa ambil sesuatu yang sedang salah pada diriku. Aku robek pelan pelan ternyata ada kupu-kupu hitam disana. Mereka banyak. Ternyata hal ini yang membuat perutku jadi buncit begini. Kupu-kupunya banyak. Ada banyak tulisan di sayapnya. Aku bisa baca tulisannya walau letaknya ditempat yang kelam. Aku pikir itu sebuah mantra. Jadi aku sedang di mantrai mereka. Aku kerasukan. Mulai beringas. Mulai menuntut. Dan kini musuhku banyak. Mereka bilang aku munafik. Perempuan munafik yang malang. Yang perutnya penuh kedengkian. Mencoba melawan diskriminasi tapi tak ada yang peduli. Mencoba mengadu tapi cuma ditinggal tidur. Padahal ada tapi selalu dianggap tidak ada. Pintanya cuma sederhana. Hanya ingin dianggap sama. Mungkin letih karena selalu jadi bayang bayang. Bosan selalu kalah. Lelah karena jauh.
Lalu kutengok lagi perutku. Ah kupu-kupunya berkembang biak. Kini perutku dipenuhi kupu-kupu kelam. Aku hanya akan menunggu sebagian dari diriku meledak saja. Mungkin sebentar lagi.
Read More

Minggu, 21 Juli 2013

senandung maaf


Aku pernah bilang kalau sesuatu yang hanya muncul sepintas sepintas sangat berbahaya. Seperti ada magis yang memberi isyarat kalau hal ini harus kamu selesaikan atau dibiarkan terus berantakan. Apa adanya. Dan kamu tetap menikmati rasa.

Aku memang sedang menyusun tugas akhir perkuliahanku. Memang semua yang aku jalani selama proses penyusunan tidaklah mudah. Banyak hal yang terpaksa aku jalani. Dari hal yang aku suka dan tidak suka. Seperti biasanya aku datang kekampus, melakukan bimbingan, revisi ini itu, dan aku mulai muak. Hal yang terlihat tidak pantas memang harus diperbaiki namun lagi-lagi itu tidak pantas menurut dosen. Baiklah aku berusaha menjalani semua dengan suka cita. Hingga suatu ketika waktu itu datang. Aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk dapat menjalani sidang akhir dan menurut dosen, skripsi ini sudah layak untuk diujikan. Tanda tangan dari dosen pembimbing dan ketua jurusan juga dengan mudah aku dapat.  Aku mulai menyusun pemberkasan. Mengumpulkan semua tetekbengek arsip semasa perkuliahan mulai dari KRS dan KHS. Kali ini keadaan lagi-lagi mengujiku, ada salah satu nilai yang tidak keluar pada transkrip nilaiku. Aku berusaha biasa saja dan mengadukan semua permasalahan ini ke bagian akademik. Untungnya akademik mengatakan bahwa ini bukan kesalahanku tetapi kesalahan sistem. Dengan proses yang cukup panjang aku mengurusi nilai itu. Kalau dipikir-pikir nilai yang aku urus ini tidak sebanding dengan keringat yang harus aku keluarkan. Tapi ini peraturan dan harus dipatuhi. Aku mengadukan hal ini kepada ketua jurusan, aku meminta kompensasi akan hal ini. tapi nyatanya aku belum boleh daftar sidang dalam waktu dekat. Aku harus menunggu semua permasalahan nilaiku selesai dan aku baru diizinkan untuk mendaftar sidang.

Tuhan ada apa lagi ini? mengapa Perjalanan menuju ‘kata aku bisa sidang’ begitu bergerigi?

Setahun lamanya aku menyusun skripsiku. Seharusnya memang ini merupakan prioritasku tapi karena aku terlalu sanguinis maka banyak waktu yang aku tunda, aku lebih memilih aktifitas lain yang lebih tidak membosankan dibanding hanya duduk seharian diperpustakaan dan mengetik berlembar-lembar halaman di depan laptop.

Kala itu aku kembali kekampus, berharap waktu bersikap baik kepadaku. Seperti biasa untuk mengisi dua jam kebosanan di bus kota, aku mendengarkan musik dan membaca buku. Hingga aku melamun kepada satu lagu yang mendorongku pada satu pemikiran, “mungkin karena ada orang yang belum sepenuhnya ikhlas”.

Aku memang bukan orang baik, tapi aku ingin semua orang memandang aku baik. aku memang sering membuat salah tapi aku tidak ingin dianggap salah. Itulah pemikiran egois semua orang termasuk aku. Akhrinya aku sadarkalau aku bukan sepenuhnya orang baik. tanpa sadar aku mungkin pernah berbuat salah kepada orang lain. mungkin ada orang yang belum memaafkanku.

Sepulang perjalanan aku memulai aksiku. Aku ingat ada satu orang yang mungkin merasa paling aku sakiti. Walau kejadian ini teramat silam namum ada suatu kekuatan yang mendorongku untuk meminta maaf kepadanya. Dengan begitu jantannya aku mengirimkan pesan singkat untuk memastikan bahwa nomor yang masih tersimpan di telepon genggamku ini masih jadi miliknya. Aku mengajaknya bertemu, tanpa memberi tahu tujuan utamaku ingin menemuinya. Aku tahu kini  ia sedang sibuk dengan rutinitas orang dewasa, makanya aku tidak ingin menentukan waktu untuk bisa menemuinya. Aku memintanya mengabariku jika ia punya waktu luang untuk menemuiku. Kini aku sedang menunggu kabar, kabar bahwa ia ingin menemui. Walau aku tahu, kabar tersebut belum tentu sampai kepadaku.

Tuhan, aku ingin menyelesaikan. Adakah kesempatan?



Read More

© vanilla essens, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena